Biografiku.com | Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang berasal dari minangkabau di pulau Sumatera. Ia merupakan tokoh pejuang yang memimpin perlawanan melawan Belanda dalam perang Padri yang awalnya merupakan perang saudara.
Biodata Tuanku Imam Bonjol
Nama | Tuanku Imam Bonjol |
Lahir | 1772 di Sumatera Barat |
Wafat | Minahasa, 6 November 1864, |
Orang tua | Hamatun, Khatib Bayanudin |
Dikenal | Pahlawan Nasional |
Biografi Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol diketahui lahir pada tahun 1772 di Bonjol. Beliau memiliki ayah bernama Bayanuddin dan ibu bernama Hamatun. Ayah Tuanku Imam Bonjol terkenal sebagai seorang alim ulama asal Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, namun ketika dewasa, banyak gelar diberikan kepada Muhammad Shahab yaitu Tuanku Imam, Malin Basa dan Peto Syarif.
Ada salah seorang pemimpin dari Kamang yang bernama Tuanku Nan Renceh, ia merupakan Pemimpin Harimau Nan Salapan kemudian menunjuk Muhammad Shahab sebagai seorang imam atau lebih dikenal sebagai pemimpin untuk kaum padri di Bonjol. Sehingga dari situ ia kemudian lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol.
Meletusnya Perang Padri
Tuanku Imam Bonjol terkenal ketika perlawanannya melawan penjajah Belanda dalam perang Padri. Perang Padri merupakan perang terlama yang berlangsung dari tahun 1803 hingga 1838 yang melibatkan sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak.
Awalnya memang perang tersebut bisa dikatakan sebagai perang saudara di Sumatera, Perang tersebut terjadi karena timbulnya pertentangan antara kaum padri yang terkenal dari kalangan ulama dengan kaum ada yang merupakan masyarakat dari kerajaan pagaruyung.
Kaum Padri sebenarnya menginginkan agar hukum di daerahnya dijalankan sesuai dengan syariat Islam yang berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Hal ini mengingat masyarakat disana masih memiliki kebiasaan buruk seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras serta hukum yang terlalu longgar.
Padahal masyarakat disana sudah banyak yang memeluk Islam. Tidak adanya kesepakatan antara kaum Padri dan kaum ada sehingga meletuslah perang Padri yang terkenal. Awalnya perang padri melibatkan kaum padri yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman.
Tuanku Pasaman kemudian menyerang kaum adat yang dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah. Serangan pertama di Pagaruyung terjadi pada tahun 1815 dan kemudian pertempuran selanjutnya pecah di Koto Tengah dekat Batu Sangkar. Pertempuran ini kemudian membuat Sultan Arifin Muningsyah terdesak dan terpaksa melarikan diri dari kerajaanya di Lubukjambi.
Memimpin Perang Padri
Akibat terdesaknya kaum adat ketika itu sehingga mereka kemudian meminta bantuan Belanda, secara resmi kemudian Belanda membantu kaum adat untuk berperang melawan kaum Padri melalui sebuah perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1821 di Padang.
Isi perjanjian tersebut menyebutkan bahwa Belanda akan mendapatkan penguasaan wilayah di pedalaman Minangkabau. Perjanjian tersebut dihadiri oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar. Adanya campur tangan Belanda membantu kaum adat melawan kaum padri membuat situasi semakin rumit.
Meskipun Belanda turut campur dalam perang Padri tersebut, tetapi Belanda juga cukup kesulitan dalam melawan Kaum Padri yang ketika itu sudah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Belanda yang kesulitan kemudian mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai, hal tersebut kemudian dituangkan dalam perjanjian Masang di tahun 1824.
Perjanjian tersebut harus dilakukan oleh Belanda mengingat mereka ketika itu kehabisan dana untuk melakukan perang sebab belanda juga harus memadamkan perang yang terjadi di daerah lain seperti perang Diponegoro. Tetapi perjanjian tersebut tidak berlangsung lama sebab Belanda kemudian menyerang nagari Pandai Sikek.
Bersatu Melawan Belanda
Hingga pada tahun 1833, parang Padri kemudian memasuki babak baru. Kaum adat kemudian berbalik bersatu dengan kaum Padri melawan Belanda. Mengingat perang tersebut ternyata hanya menyengsarakan rakyat Minangkabau. Bersatunya Kaum Adat dan Kaum Padri ditandai dengan Plakat Puncak Pato di Tabek Patah.
…Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?)
Kalimat diatas merupakan rasa penyesalan atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak. Belanda kemudian melakukan pengepungan dan penyerangan ke Benteng Kaum Padri. Pengepungan dan penyerangan ini berlangsung selama enam bulan.
Agar pengepungan dan penyerangan tersebut berhasil, Belanda terus menerus meminta bantuan pasukan dari Batavia. Hal ini kemudian membuat posisi Tuanku Imam Bonjol menjadi terjepit. Namun Tuanku Imam Bonjol tetap melakukan perlawanan dan tidak mau menyerah.
Penangkapan Tuanku Imam Bonjol
Pada tanggal 16 Agustus 1837 barulah benteng Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda setelah lama dikepung. Untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol sendiri, Belanda mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berunding di Palupuh pada bulan Oktober 1837.
Di tempat itu ia kemudian ditangkap oleh Belanda dan kemudian diasingkan di Cianjur, Jawa Barat. Dari Cianjur, ia kemudian dibawa ke Ambon hingga kemudian dipindahkan di Lotak, Minahasa, dekat Manado. Disana Tuanku Imam Bonjol kemudian meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864 dan kemudian dimakamkan ditempat tersebut.
Pemerintah Indonesia kemudian mengangkat Tuanku Imam Bonjol sebgaai Pahlawan Nasional berkat perjuangannya melawan penjajah Belanda. ia diberi gelar sebagai pahlawan nasional pada tanggal 6 November 1973. Nama Tuanku Imam Bonjol juga banyak diabadikan sebagai nama Jalan, selain itu ia juga digambarkan dalam uang pecahan 5.000 rupiah. Nama Tuanku Imam Bonjol juga banyak digunakan sebagai nama ruang publik seperti stadion dan nama universitas.