Biografiku.com – Mohammad Hatta dikenal sebagai Bapak koperasi Indonesia sekaligus wakil presiden Indonesia pertama yang luar biasa untuk diteladani.
Sosok Mohammad Hatta yang sangat sederhana dan bersahaja membuat ia banyak dihormati oleh rakyat Indonesia. Namun dibalik itu, terdapat beberapa fakta paling mengenai Mohammad Hatta yang patut untuk diketahui. Berikut 7 fakta paling menarik mengenai Mohammad Hatta yang perlu kamu ketahui.
Bapak koperasi Indonesia
Muhammad Hatta atau Bung Hatta memang bukan pencetus Koperasi untuk pertama kalinya. Namun atas sumbangsihnya menggali kembali sistem ekonomi yang cocok untuk Indonesia, Maka Bung Hatta sukses dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia sampai hari ini.
Bung Hatta sejak lama menaruh perhatian terhadap sistem ekonomi untuk negara Indonesia yang baru berdiri saat itu. Bahkan buah pikirannya terkait koperasi antara lain dituangkannya dalam buku yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun pada tahun 1971.
Sebagaimana diketahui ekonomi bangsa yang menemui keterpurukan di zaman Hindia Belanda setelah kemerdekaan Mohammad Hatta semakin gencar membahas mengenai koperasi. Tepat pada tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato di radio mengenai Hari Jadi Koperasi.
Dan selang 5 hari kemudian beliau diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia bertepatan dengan kongres II di Bandung. Selanjutnya ide-ide tentang koperasi disatukan sampai pada akhirnya kongres gerakan koperasi pertama diselenggarakan di Tasikmalaya pada tanggal 12 Juli 1947 dihadiri oleh 500 utusan dari Jawa Sumatera Kalimantan dan Sulawesi.
Memprakarsai Penghapusan Tujuh Kata Dalam Pembukaan UUD 1945.
Mungkin tidak banyak dari kalian yang tahu bahwa undang-undang dasar yang kita kenal hari ini punya versi berbeda dengan undang-undang yang dibuat pertama kalinya. Saat itu terdapat bunyi ‘..Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya’ yang akhirnya dihapus melalui pertimbangan tertentu.
Dalam kisahnya bahwa setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, Mohammad Hatta pulang ke rumah. Sore harinya ia mendapat telepon dari Nishijima pembantu Laksamana Maeda petinggi angkatan laut Jepang.
Dari Nishijima, Bung Hatta dikirimi seorang opsir yang menyampaikan pesan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh angkatan laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan undang-undang dasar.
Bagian kalimat tersebut berbunyi ‘..Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Atas perkembangan tersebut besoknya, pada 18 Agustus 1945 sebelum sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI dimulai, Moh Hatta memanggil 4 orang perwakilan PPKI kalangan Islam.
Ia bersama dengan perwakilan tersebut kemudian menggelar rapat pendahuluan. Sampai akhirnya disepakati 7 kata dihapus untuk selanjutnya digantikan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berpendapat Papua Bukan Bagian Dari Republik Indonesia
Belakangan ribut-ribut isu rasis menimpa saudara-saudara kita di Papua sana hingga dengung referendum pun sempat terdengar berkali-kali. Penting untuk diketahui dari awal Hatta tidak menganggap Papua bagian dari Republik. Bahkan ketimbang Papua, Hatta lebih mempertimbangkan Malaya dan Borneo Utara yang kini menjadi bagian dari Malaysia untuk menjadi bagian dari Indonesia karena adanya kesamaan rumpun.
“..Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan. Bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa Merdeka.” kata Hatta pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945 yang tercatat dalam risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI 29 Mei 1945 sampai 19 Agustus 1945.
Sayangnya pendapat Hatta yang didasarkan pada perbedaan etnis dan menghilangkan kesan nafsu imperialistis bangsa terhadap kekayaan Tanah Papua harus Kalah suara dari keinginan Mohammad Yamin dan Ir. Soekarno yang menginginkan Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Sekolah ke Belanda
Bung Hatta adalah sosok berpengaruh karena pemikiran moderatnya. Bahkan saat masih berusia belasan tahun Ia sudah bergabung dengan syarikat pimpinan usaha. Tidak hanya itu setelah selesai dari sekolah dagang Prince Herdrik School di Jakarta tahun 1919, Pria kelahiran kota kecil di dataran tinggi Agam ini mendapatkan beasiswa dari Yayasan Van Deventer untuk melanjutkan pendidikan ke Handles Hooge School di negara Belanda.
Dalam biografi Mohammad Hatta diketahui bahwa saat berada di negeri kincir angin itulah, ia mulai aktif berorganisasi dan menulis. Di usianya yang baru 19 tahun, Ia bergabung ke Indische Vereeniging, organisasi mahasiswa Hindia Belanda di Belanda.
Tidak lama setelah itu penerbitan sebuah majalah yang diberi nama Hindia Poetra direncanakan, dimana Muhammad Hatta adalah bendaharanya.
Kendati mengemban amanah dalam menghimpun dana, Hatta aktif menulis dalam usahanya ia gencar menuliskan tentang topik ketidakadilan dalam penetapan nilai sewa tanah rakyat ke perkebunan milik orang Belanda.
Selama di Belanda Hatta juga dikenal rajin bergumul dengan buku-buku yang diperoleh dengan mudah di Eropa. Seiring dengan itu ia makin aktif menulis hanya sayang kuliahnya terbengkalai. Kendati demikian ia diakui sebagai pemikir anti kolonial yang cemerlang.
Menjalani Pengasingan di Papua dan Maluku
Pengalaman Bung Hatta selama di Belanda seyogyanya sangat cukup untuk berbuat lebih untuk negeri ini. Selain dikenal aktif berorganisasi, Hatta juga dikenal pemimpin delegasi mahasiswa Indonesia di berbagai forum internasional.
Tidak heran jika sekembalinya dari Belanda yang didapuk sebagai tokoh pergerakan kebangsaan. Langkah yang dipilihnya begitu nyata, seperti saat ia membenahi Partai Nasional Indonesia atau PNI dan mengubahnya menjadi Pendidikan Nasiona Indonesia bersama rekan seperjuangnya yakni Sutan Syahrir.
Saat dia membenahi Partai Nasional Indonesia atau PNI dengan mengubahnya menjadi pendidikan nasional Indonesia bersama rekan seperjuangannya Syahrini tidaknya mengorbankan semangat revolusioner.
Di bawah payung PNI, Hartta mengusung kader kader partai yang bertanggung jawab atas regenerasi perjuangan melawan penjajah karena sepak terjangnya itulah yang membuat keberadaan Hatta kemudian dianggap menjadi ancaman sehingga oleh pemerintah kolonial Hatta diasingkan ke Boven digoel di Papua dan Banda Neira daerah Maluku 1936 hingga menjelang kedatangan Jepang datang 1942.
Mengenalkan Nama Indonesia di Kancah Internasional
Masih ingat dengan Indische Vereeniging. Peran Bung Hatta mengenalkan bangsanya di dunia internasional maka penting untuk diketahui bahwa hal tersebut dimulai dengan bergabungnya ia ke dalam perkumpulan pelajar tanah air yang ada di Belanda.
Penting untuk diketahui bahwa awalnya organisasi ini hanyalah organisasi biasa hingga bergabungnya tiga tokoh Indische Partij yakni Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo membuat Indische Vereeniging kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia atau PPI.
Meski memulai karir sebagai bendahara di organisasi tersebut, Tiga tahun berselang yakni pada tahun 1925, Hatta terpilih menjadi ketua bahkan hingga tahun 1930 secara berturut-turut. Saat pertama terpilih itulah, Hatta menyampaikan pidato inagurasi yang berjudul Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan.
Di mana pidato ini menjadi cikal bakal berkembangnya jalan pikiran politik rakyat Indonesia. Adapun peran besar lainnya yang dilakukan Hatta selaku ketua PPI adalah dengan pernahnya ia memimpin delegasi kongres demokrasi internasional untuk perdamaian di Berville, Prancis pada tahun 1926.
Bersumpah Akan Menikah Setelah Indonesia Merdeka
Bung Hatta sangat total memikirkan kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya profesional dalam perjalanan politiknya, ia bahkan rela melibatkan kehidupan pribadinya. Berbeda dengan Soekarno yang menikah di usia muda bahkan sampai punya 9 orang istri. Faktanya Mohammad Hatta justru lebih memilih tidak menikah sampai Indonesia merdeka.
Janji ini merupakan sumpah yang pernah ia lontarkan. Hal ini sebagaimana yang pernah ditulis oleh Mutia Farida Hatta dalam 100 tahun Bung Hatta yang diterbitkan kompas pada tahun 2002.
Bahwa memang benar Hatta yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden menikah saat usianya sudah memasuki angka 43 tahun. Ia menikah pada 18 November 1945 bersama seorang perempuan bernama Rachim Rahmi yang baru berusia 19 tahun dan dikaruniai tiga orang putri.