Beranda Pahlawan Nasional Kisah 10 Biografi Pahlawan Revolusi Indonesia Beserta Biodata Lengkapnya

Kisah 10 Biografi Pahlawan Revolusi Indonesia Beserta Biodata Lengkapnya

Biografiku.com | Gerakan 30 September PKI melahirkan beberapa Pahlawan Revolusi. Gerakan ini dikenal dengan nama G30S/PKI merupakan peristiwa kelam dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, Kelompok pendukung Partai Komunis Indonesia berusaha melakukan kudeta.

Mereka menculik beberapa perwira tinggi militer dengan tuduhan hendak melakukan kudeta. Para korbannya yang kemudian disebut sebagai pahlawan revolusi ini disiksa secara keji dan kemudian dibunuh.

Biografi Pahlawan Revolusi

Gerakan tersebut terjadi bukan hanya di Jakarta saja tetapi juga di Yogyakarta. Akibat gerakan PKI tersebut 10 orang yang terdiri dari beberapa perwira tinggi Angkatan Darat menjadi korban keganasan PKI.

Peristiwa G30S/PKI juga menjadi salah satu pemicu tumbangnya pemerintahan orde lama yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Adapun 10 korban keganasan PKI yang oleh pemerintah kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta juga diakui sebagai Pahlawan Nasional. Siapa saja mereka? Berikut 10 biografi pahlawan revolusi Indonesia yang perlu kamu ketahui.

Biografi Pahlawan Revolusi Indonesia

Jenderal TNI Ahmad Yani

Biografi Jenderal Ahmad Yani
Ahmad Yani

Jenderal TNI Ahmad Yani diketahui lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922. Semasa muda pernah menjalani wajib militer sebagai tentara Hindia Belanda. Kemudian ketika jepang berkuasa di Indonesia, Ahmad Yani menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air).

Setelah Indonesia merdeka, Ahmad Yani kemudian bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia yang kala itu masih bernama TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Ia menjadi komandan tentara di Magelang dan berhasil mempertahankan kota itu dari serangan Inggris pasca proklamasi kemerdekaan.

Ahmad Yani juga pernah melakukan gerilya melawan Belanda ketika agresi militer Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, Ahmad Yani kemudian ditarik ke Tegal, Jawa Tengah. Disana ia bersama pasukan khusus bentukannya yang bernama Banteng Raiders berhasil menumpas pemberontakan Darul Islam yang dibentuk oleh Kartosuwiryo.

Prestasinya tersebut membuat pemerintah Indonesia mengirim Ahmad Yani untuk kursus militer di Amerika Serikat dan dipersiapkan sebagai calon jenderal. Setelah kembali ke Indonesia, ia kemudian ditarik ke Markas Besar TNI Angkatan Darat di Jakarta sebagai staf umum Jenderal A.H Nasution.

Tahun 1958, Pahlawan revolusi ini berhasil memadamkan pemberontakan PRRI pimpinan letkol Ahmad Husein di Sumatera Barat. Prestasi Ahmad Yani itu membuatnya dipromosikan sebagai wakil kepala angkatan darat pada tahun 1962. Setahun berikutnya Ahmad Yani dilantik menjadi Kepala atau Panglima TNI Angkatan Darat menggantikan Jenderal AH Nasution.

Tanggal 30 September menjelang 1 Oktober 1965 dini hari, Jenderal TNI Ahmad Yani diculik oleh pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Kolonel Untung yang berafiliasi dengan PKI. Ketika diculik dari rumahnya, Ahmad Yani sudah tewas ditembak oleh pasukan cakrabirawa. Mayatnya kemudian dibawa dan dimasukkan ke dalam sumur tua di wilayah lubang buaya di dekat Bandara Halim Perdanakusuma.

Jenazah Ahmad Yani bersama para jenderal lainnya yang menjadi korban diangkat dari sumur pada tanggal 4 oktober 1965. Selanjutnya Jenderal Ahmad Yani dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi kepada Jenderal TNI Ahmad Yani.

Mayjen TNI S. Parman

Biografi S. Parman
S. Parman

Nama lengkapnya adalah Mayor Jenderal Siswondo Parman. Ia dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 14 Agustus 1918. Sempat masuk sekolah kedokteran namun berhenti karena Jepang menguasai Indonesia.

Dimasa kependudukan Jepang, beliau bekerja untuk polisi militer Jepang yang disebut Kampetai. Tak lama kemudian, Parman dikirim ke Jepang untuk mengikuti pelatihan intelijen. Setelah jepang menyerah, Parman menjadi seorang penerjemah.

Karir miiter Siswondo Parman di TNI dimulai ketika ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Beberapa bulan kemudian ia diangkat menjadi kepala staf polisi militer yang berkedudukan di Yogyakarta.

Hanya beberapa tahun saja, S. Parman naik jabatan menjadi kepala staf Gubernur militer Jabodetabek dengan pangkat Mayor. Prestasinya dalam menggagalkan pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) pimpinan Raymond Westerling membuat S. Parman dikirim ke Amerika belajar di Sekolah Polisi Militer.

Salah satu pahlawan revolusi ini sempat memegang jabatan di markas besar Polisi Milter Nasional, Departemen Pertahanan Indonesia hingga menjadi atase militer Indonesia di London, Inggris. Tak lama kemudian ia ditarik ke Indonesia menjadi asisten intelijen untuk KSAD Jenderal Ahmad Yani.

Tanggal 30 September 1965, Mayor Jenderal Siswondo Parman diculik oleh pasukan Cakrabirawa dari rumahnya dan dibawah ke daerah lubang buaya di wilayah Halim Perdanakusuma. Disana, ia ditembak bersama beberapa perwira tinggi Angkatan Darat lainnya.

Jasad Mayjen S. Parman kemudian dimasukkan ke dalam sumur tua ditumpuk bersama jasad jenderal lainnya yang sudah dieksekusi oleh PKI. Jasadnya baru dikeluarkan dari sumur pada tanggal 4 oktober 1965.

BACA JUGA :  Biografi Sam Ratulangi, Profil Pahlawan Kemerdekaan Indonesia Dari Manado

Mayjen  S. Parman bersama dengan jasad jenderal lainnya dimakamkan di taman makam pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah Indonesia memberikan gelar pahlawan revolusi kepada Mayor Jenderal S. Parman dan pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Letnan Jenderal.

Brigjen TNI DI Pandjaitan

Biografi DI Pandjaitan
DI Pandjaitan

DI Pandjaitan atau yang dikenal dengan nama lengkap Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan lahir pada tanggal 9 Juni 1925 di Balige, Sumatera Utara. Jepang menguasai Indonesia ketika ia menyelesaikan sekolahnya. Tamat SMA, DI Pandjaitan menjadi anggota Gyugun atau tentara sukarela di Pekanbaru, Riau.

Pasca kemerdekaan Indonesia tahu 1945, DI Pandjaitan bergabung dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang baru saja dibentuk. Pertama kali ia menjadi komandan batalyon selanjutnya ditugaskan di di Bukittinggi sebagai Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng tahun 1948.

Tak lama kemudian pahlawan revolusi ini menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera selanjutnya menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Agresi Militer Belanda I dan II.

Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia olelh Belanda, DI Pandjaitan naik jabatan menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan kemudian menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.

Tahun 1963, DI Pandjaitan dikirim ke Amerika Serikat untuk kursus militer di Associated Command and General Staff College di Forth Leavenworth. Ia sempat ditugaskan sebagai atase militer Indonesia di Bonn, Jerman tahun 1960 setelah sebelumnya mengikuti kursus atase militer tahun 1956. Dua tahun kemudian, D.I Pandjaitan kemudian ditugaskan sebagai Asisten Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal AH Nasution untuk urusan logistik.

Tanggal 01 Oktober 1965 dini hari, D.I Panjaitan dijemput paksa oleh sekelompok pasukan Cakrabirawa dengan dalih dipanggil oleh Presiden Soekarno. Pasukan mendobrak masuk, namun perlawanan dilakukan oleh orang yang berada di rumah DI Pandjaitan yakni Albert Naiborhu dan Viktor Naiborhu. Keduanya terluka berat dan tak lama kemudian Albert tewas setelah lima butir peluru bersarang di tubuhnya.

Setelah berpakaian seragam TNI lengkap, DI Pandjaitan turun menemui pasukan Cakrabirawa yang akan membawanya pergi. Setelah berdoa, DI Pandjaitan dieksekusi mati di depan rumahnya.

Mayatnya kemudian dibawa ke wilayah lubang buaya di Halim Perdanakusuma. Tubuhnya bersama dengan para jenderal lain yang sudah dieksekusi dimasukkan ke dalam sumur tua dan ditimbun dengan batang pisang. Jasad pahlawan revolusi ini baru dievakuasi pada tanggal 4 Oktober 1965. DI Pandjaitan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi oleh pemerintah.

Mayjen M.T Haryono

Biografi MT Haryono
MT Haryono

Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono atau lebih dikenal dengan nama Mayjen MT Haryono lahir di Surabaya, Jawa Timur tanggal 20 Januari 1924.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, ia sempat mengenyam pendidikan di Ika Dai Gakko (Sekolah Tinggi Kedokteran) zaman Jepang namun tidak sampai tamat karena Jepang menyerah.

Setelah proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, MT Haryono kemudian bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan memperoleh berpangkat Mayor.

Dimasa mempertahankan kemerdekaan, Pahlawan Revolusi ini beberapa kali menjadi ditugaskan sebagai anggota delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Inggris serta Belanda misalnya dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

Keahliannya dalam berunding serta menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Jerman dan Belanda membuat ia didaulat sebagai atase militer Indonesia di Belanda. Setelahnya, ia kemudian kembali ke Indonesia dan diangkat sebagai Asisten atau Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani bagian pembinaan serta perencanaan.

Tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, MT Haryono dijemput oleh pasukan Cakrabirawa. Pasukan tersebut merangsek masuk ke kamar yang tidak terkunci mencari MT Haryono. Keadaan kamar yang gelap membuat MT Haryono mencoba merebut senjata seorang pasukan Cakrabirawa namun gagal.

Pahlawan revolusi ini kemudian mencoba melarikan diri keluar kamar. Namun prajurit Cakrabirawa yang bernama Boengkoes langsung menembak mati MT Haryono. Selanjutnya mayat MT Haryono kemudian diseret dan dinaikkan ke truk. Ia kemudian dibawa ke daerah lubang buaya di Halim Perdanakusuma. Disana jasadnya kemudian dimasukkan dalam sumur tua bersama jasad para jenderal lainnya yang sudah dieksekusi.

Jasad MT Haryono baru diketemukan pada tanggal 4 Oktober 1965. Selanjutnya beliau kemudian di makakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Presiden Soekarno kemudian memberikan gelar Pahlawan Revolusi kepada MT Haryono. Pangkatnya juga dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal (Anumerta).

Mayjen R. Suprapto

Biografi R Suprapto
R Suprapto

Mayjen R. Suprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah pada tanggal 20 Juni 1920. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atasnya, Suprapto kemudian mengikuti pelatihan militer di Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Namun ia tak sampai selesai karena Jepang menguasai Indonesia.

R. Suprapto kemudian ditahan dan dijebloskan ke penjara. Namun ia berhasil melarikan diri. Ia sempat mengikuti pelatihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai yang diadakan oleh Jepang. Setelah itu, ia memilih bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.

BACA JUGA :  Biografi Muhammad Yamin, Kisah Sastrawan dan Pahlawan Nasional Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, R. Suprapto kemudian bergabung dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Ia terlibat langsung dalam pertempuran Ambarawa bersama Jenderal Sudirman melawan tentara Inggris.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, R. Suprapto ditugaskan menjadi Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Setelah itu ia pindah ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat dan Kementrian Pertahanan.

Beberapa tahun kemudian, Pahlawan revolusi ini kemudian diangkat sebagai Deputi (Wakil) Kepala Staf Angkatan Darat untuk Sumatera yang berkedudukan di Medan. Hingga kemudian ia kembali ke Jakarta menjadi salah satu perwira tinggi Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 waktu dini hari, R Suprapto dijemput oleh Pasukan Cakrabirawa dengan dalih dipanggil menghadap Presiden Soekarno. Suprapto kemudian dibawa ke daerah Halim Perdanankusuma tepatnya di lubang buaya.

Disana R. Suprapto disiksa dan kemudian di eksekusi mati. Menurut riset Indoleaks tahun 2010, R. Suprapto mengalami 11 luka tembak dan 3 luka tusuk yang menyebabkan ia gugur. Berbeda yang digambarkan oleh pemerintah Orde Baru Soeharto dimana digambarkan R. Suprapto mengalami siksaan keji seperti disayat menggunakan silet hingga alat kelaminnya yang dipotong.

Jasadnya R. Suprapto ditemukan pada tanggal 04 Oktober 1965 dalam sumur tua yang sudah ditimbun setelah dilakukan evakuasi oleh anggota marinir. Jasadnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. S. Suprapto kemudian dianugerahi gelar pahlawan revolusi oleh pemerintah Indonesia.

Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo

Biografi Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo

Sutoyo Siswomiharjo dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 28 Agustus 1922. Setelah menamatkan pendidikannya di AMS, Ia kemudian menimba ilmu di Sekolah Pendidikan Pegawai Negeri di Jakarta. Setelah tamat, ia kemudian bekerja sebagai pegawai pemerintah di Purworejo namun berhenti pada tahun 1944.

Pasca Indonesia merdeka tahun 1945, Sutoyo Siswomiharjo atau biasa dipanggil pak Toyo memilih bergabung dengan satuan Polisi Tentara Keamanan Rakyat. Tak lama kemudian ia ditugaskan sebagai ajudan dari Jenderal Gatot Subroto yang kala itu menjabat sebagai komandan polisi militer.

Setelah lama bertugas di polisi militer, Sutoyo Siswomiharjo akhirnya menjabat sebagai kepala staf Markas Besar Polisi Militer tahun 1954. Hanya beberapa tahun saja menjabat, ia kemudian ditugaskan sebagai asisten atase militer di kedubes Indonesia di Inggris.

Setelah menyelesaikan sekolah staf dan komando di Bandung tahun 1960, Sutoyo ditugaskan sebagai Inspektur Kehakiman Angkatan Darat. Setelahnya, ia kemudian naik menjadi Inspektur Kehakiman atau Jaksa Militer Utama dengan pangkat Brigadir Jenderal TNI.

Sutoyo Siswomiharjo termasuk dalam daftar perwira tinggi di Angkatan Darat yang kemudian diculik oleh pasukan Cakrabirawa. Sutoyo dijemput oleh pasukan Cakrabirawa di rumahnya. Ia kemudian dibawa ke wilayah lubang buaya di wilayah Halim Perdanakusuma.

Disana ia disiksa dan kemudian dieksekusi mati di lokasi tersebut bersama dengan para perwira tinggi AD yang lain. Jasad Sutoyo dimasukkan dalam sumur tua dan ditimbun. Ia baru evakuasi pada tanggal 4 Oktober 1965.

Sutoyo Siswomiharjo bersama dengan jasad para perwira tinggi AD yang lain dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Beliau kemudian dianugerahkan gelar pahlawan revolusi oleh presiden Soekarno.

Kapten Czi. Pierre Tendean

Biografi Pierre Tendean
Pierre Tendean

Nama lengkapnya adalah Pierre Andries Tendean. Ia lebih dikenal dengan nama Pierre Tendean. Ia lahir pada tanggal 21 Januari 1939. Sejak kecil ia sudah bercita-cita menjadi seorang tentara. Setelah menyelesaikan sekolahnya, ia kemudian bergabung di sekolah miiliter Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD). Selama sekolah, ia bahkan sempat terlibat dalam operasi militer menumpas pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera.

Setelah lulus, Pierre ditugaskan sebagai Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan dengan pangkat Letnan Dua. Beberapa tahun kemudian ia bergabung di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD). Dari situ ia ditugaskan sebagai intelijen di Malaysia ketika Indonesia dan Malaysia mengadakan konfrontasi.

Dari situ, Pierre kemudian naik pangkat sebagai letnan satu dan ditarik menjadi ajudan Jenderal A.H Nasution. Tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, Pasukan Cakrabirawa datang untuk menculik Jenderal A.H Nasution yang menjadi target utama.

Namun karena waktu yang sudah mendesak, pasukan Cakrabirawa tidak bisa membedakan antara Pierre Tendean dan A.H Nasution sehingga mereka membawa Pierre Tendean. A.H Nasutio sendiri berhasil melarikan diri dengan melompati pagar rumahnya namun ia terluka di kakinya.

Pahlawan Revolusi ini disiksa dan dieksekusi mati bersama dengan perwira tinggi Angkatan Darat lain yang sudah diculik sebelumnya. Jasad Pierre Tendean kemudian dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya wilayah Halim Perdanakusuma.

Jasad Pierre Tendean baru ditemukan dan dievakuasi pada tanggal 4 Oktober 1965. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah Indonesia melalui Presiden Soekarno memberikan penghargaan gelar Pahlawan Revolusi kepada Pierre Tendean. Pengkat Pierre Tendean juga dinaikkan satu tingkat menjadi Kapten.

Brigjen Katamso Darmokusumo

Biografi Katamso Darmokusumo
Katamso Darmokusumo

Katamso Darmokusumo dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 5 Februari 1923. Setelah menamatkan sekolahnya, ia kemudian bergabung dalam pelatihan tentara PETA. Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Katamso bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat).

BACA JUGA :  Biografi Gatot Subroto, Pahlawan Nasional Pendiri AKABRI

Ia juga seringkali terlibat pertempuran ketika agresi militer Belanda I dan II berlangsung. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, Katamso ditugaskan menumpas pemberontakan Batalion 426 yang merupakan bagian dari pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah pimpinan Amir Fatah.

Katamso juga ikut terlibat sebagai Komandan Batalion A dalam Operasi 17 Agustus yang kala itu bertujuan menumpas pemberontakan PRRI/Permesta. Beberapa tahun kemudian, Katamso Darmokusumo naik jabatan menjadi Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro.

katamso diketahui sering memberikan pelatihan militer kepada mahasiswa guna menghadapi kegiatan PKI yang ada di Solo, Yogyakarta. Sebab itulah ia kemudian menjadi target penculikan PKI.

Tanggal 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September oleh PKI juga terjadi di Yogyakarta selain di Jakarta. Simpatisan PKI kala itu yang dimotori oleh Mayor Mulyono yang menjabat sebagai Kepala Seksi (Kasi) Korem 72/Pamungkas.

Penculikan Katamso Siswomiharjo dilakukan pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965. Ia diculik di rumahnya oleh anak buahnya sendiri. Selanjutnya ia kemudian dibawa ke Markas Komando Yon L di wilayah Kentungan, Yogyakarta.

Selanjutnya, ia dibawa ke lokasi pembataian dimana eksekusi dilakukan oleh Sertu Alif Toyo dengan hantaman kunci mortir dengan berat 2 kilogram ke kepala Katamso Siswomiharjo. Ia tersungkur dan masih hidup saat itu, namun kemudian gugur ketika ia dihantam kedua kalinya.

Jasad Brigjen Katamso Darmokusumo baru ditemukan pada tanggal 21 oktober 1965 setelah dilakukan penncarian besar-besaran. Brigjen Katamso Darmokusumo kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta. Beliau kemudian diberi penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi oleh pemerintah Indonesia dan pangkatnya juga dinaikkan satu tingkat.

Kolonel Sugiono

Biografi Kolonel Sugiono
Sugiono

Nama lengkapnya adalah Sugiono Mangunwiyoto. Beliau dilahirkan di Gunung Kidul Yogyakarta pada tanggal 12 Agustus 1926. Setelah menyelesaikan sekolahnya, Sugiono tertarik menjadi seorang guru namun hal tersebut gagal karena Jepang menguasai Indonesia.

Di masa kependudukan Jepang, Ia memilih bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) dengan posisi komandan regu berpangkat sersan. Setelah Indonesia merdeka, Sugiono bergabung dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dengan posisi Komandan Seksi I Kompi 2 Batalyon 10 Resimen III di Yogyakarta.

Sugiono juga ikut andil dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret bersama dengan Letnan Kolonel Soeharto. Pasca pengakuan kedaultan Indonesia oleh Belanda, Sugiono naik pangkat sebagai kapten menajdi komandan kompi 4 Batalyon 411 Brigade C di Purworejo.

Ia diketahui turut andil dalam pembentukan satuan Yon Banteng Raiders yang kala itu dibentuk oleh Jenderal Ahmad Yani. Ia sempat menjadi komandan kompi Banteng Raiders dengan pangkat Kapten Infantri dan kemudian naik menjadi Mayor.

Tahun 1960an, Sugiono sudah menjabat sebagai Kodim di Pati dan kemudian naik jabatan menjadi komandan korem di Yogyakarta dengan pangkat Letnan Kolonel. Inilah jabatan terakhirnya sebelum ia diculik oleh pasukan pemberontak ‘Gerakan 30 September’.

Kolonel Sugiono diculik bersama atasannya Brigjen Katamso Darmokusumo oleh pasukan yang dipimpin oleh Mayor Mulyono. Pasukan tersebut mendukung Gerakan 30 September PKI. Kolonel Sugiono yang kala itu berkunjung ke rumah atasannya ikut diculik dan dibawa ke Kentungan, Utara Yogyakarta.

Disana ia bersama Brigjejn Katamso Darmokusumo dieksekusui oleh Sertu Alif Toyo dengan cara dihamtam menggunakan kunci mortir seberat 2 kilogram. Setelah tewas, jasad Kolonel Sugiono bersama Brigjen Katamso dikubur dan baru ditemukan setelah tiga minggu kemudian.

Kolonel Sugiono kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta. Setelah itu, ia kemudian dianugerahan gelar Pahlawan Revolusi oleh Pemerintah Indonesiia.

Ajun Inspektur Polisi Karel Satsuit Tubun

Biografi Karel Satsuit Tubun
Karel Satsuit Tubun

Karel Satsuit Tubun dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1928 di Maluku Tenggara. Ia diketahui merupakan polisi pertama yang menjadi pahlawan nasional. Setelah menyelesaikan sekolahnya, Karel Satsuit Tubun kemudian mendaftar sebagai seorang polisi. Ia kemudian diterima dan mengikuti pendidikan kepolisian.

Setelah lulus pendidikan, KS Tubun ditugaskan di Satuan Brimob Ambon dengan pangkat Agen Polisi Kelas Dua. Setelah itu ia ditugaskan ke Jakarta. Pangkat KS Tubun pun naik menjadi Agen Polisi Kelas Satu.

Karel Satsuit Tubun atau KS Tubun diketahui ikut berpartisipasi dalam operasi militer Dwikora dalam rangka pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda. Setelah operasi selesai, ia kemudian naik pangkat sebagai Brigadir Polisi dan ditugaskan mengawal rumah Wakil Perdana Menteri Dr. J Leimena di Jakarta.

Karel Satsuit Tubun gugur ditembak oleh pasukan Cakrabirawa yang kala itu hendak menculik Panglima Angkatan Darat Jenderal A.H Nasution. Karel Satsuit Tubun yang kala itu sedang tidur, terbangun mendengar suara gaduh. Ia mengira temannya sedang membangunkannya.

Namun ternyata orang lain. Dengan sigap Karel Satsuit Tubun mencoba mengambil senjata dan melakukan perlawanan. Namun karena perlawanan yang tidak seimbang yaitu 1 banding 8, Karel Satsuit Tubun tewas setelah beberapa peluru dari pasukan Cakrabirawa menembus tubuhnya.

Jasad Karel Satsuit Tubun kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah Indonesia melalui Presiden Sokarno memberikan gelar Pahlawan Revolusi dan diakui juga sebagai Pahlawan Nasional kepada Karel Satsuit Tubun. Pangkatnya juga dinaikkan secara Anumerta menjadi Ajun Inspektur Dua Polisi.

Advertisement