Biografiku.com | Pramoedya Ananta Toer dikenal sebagai seorang sastrawan besar Indonesia. Banyak karya-karyanya yang fenomenal sehingga ia dikenal sebagai sastrawan yang sangat produktif. Namun sebagian besar hidupnya ia habiskan di penjara karena dituduh sebagai pendukung partai komunis karena menjadi ketua LEKRA. Bagaimana kisahnya?
Biografi Pramoedya Ananta Toer
Beliau lahir pada tanggal 6 februari 1925 di daerah Blora yang terletak di Jawa Tengah. Ayahnya bernama Mastoer Imam Badjoeri yang bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah swasta dan ibunya bernama Saidah bekerja sebagai seorang penghulu di daerah Rembang.
Masa Kecil Pramoedya Ananta Toer
Nama asli dari Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer namun lama kelamaan orang lebih mengenalnya sebagai Pramoedya Ananta Toer atau biasa dipanggil Pram. Beliau mulai bersekolah di Sekolah Institut Boedi Utomo di Blora di bawah bimbingan ayahnya yang bekerja sebagai guru disana namun tercatat bahwa Pramoedya beberapa kali tidak naik kelas. Tamat dari Boedi utomo, ia kemudian bersekolah di Sekolah Teknik Radio Surabaya selama 1,5 tahun di 1940 hingga 1941. Pada tahun 1942, Pramoedya kemudian berangkat ke Jakarta dan bekerja sebagai tukang ketik di Kantor berita Jepang bernama ‘Domei’ pada saat masa kependudukan jepang di Indonesia.
Sambil bekerja, Pramoedya juga mengikuti pendidikan di Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara antara tahun 1942 higga 1943. Selanjutnya di tahun 1944 hingga 1945, ia mengikuti sebuah kursus Stenografi dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam Jakarta pada tahun 1945.
Kemudian memasuki masa pasca kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tahun 1946, Pramoedya Ananta Toer mengikuti pelatihan militer Tentara Keamanan Rakyat dan bergabung dengan Resimen 6 dengan pangkat letnan dua dan ditugaskan di Cikampek dan kemudian kembali ke Jakarta pada tahun 1947.
Pramoedya Ananta Toer kemudian ditangkap Belanda pada tanggal 22 juli 1947 dengan tuduhan menyimpan dokumen pemberontakan melawan Belanda yang kembali ke Indonesia untuk berkuasa. Ia kemudian di jatuhi hukuman penjara dan kemudian dipenjarakan di pulau Edam dan kemudian dipindahkan ke penjara di daerah Bukit Duri hingga tahun 1949 dan selama masa penahanannya tersebut, ia lebih banyak menulis buku dan cerpen.
Menjadi Pimpinan LEKRA
Keluar dari penjara, Pramoedya Ananta Toer kemudian bekerja sebagai seorang redaktur di Balai Pustaka Jakarta antara tahun 1950 hingga 1951, dan di tahun berikutnya ia kemudian mendirikan Literary and Fitures Agency Duta hingga tahun 1954. Ia bahkan sempat ke Belanda mengikuti program pertukaran budaya dan tinggal disana beberapa bulan. Tidak lama kemudian ia pulang ke Indonesia dan menjadi anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dikenal sebagai organisasi kebudayaan berhaluan kiri.
Pada tahun 1956, Pramoedya Ananta Toer sempat ke Beijing untuk menghadiri hari kematian Lu Sung. Kembali ke Indonesia, ia kemudian mulai mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan orang-orang tionghoa di Indonesia. Pramoedya bahkan menjalin hubungan yang erat dengan para penulis atau sastrawan dari Tiongkok. Di masa tersebut, Pramoedya banyak menulis karya-karya sastra dan juga tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintahan Indonesia mengenai penyiksaan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Kemudian pada tahun 1958, Pramoedya Ananta Toer didaulat menjadi pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kesenian Jakarta) yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia pimpinan D.N Aidit. Jabatannya sebagai pimpinan pusat Lekra membuat banyak seniman menjadi berseberangan pendapat dengan Pramoedya Ananta Toer teruta para seniman yang menentang aliran komunis di Indonesia.
….Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” – Pramoedya Ananta Toer
Di tahun 1962, Pramoedya Ananta Toer kemudian bekerja sebagai seorang dosen sastra di Universitas Res Republica. Ia juga menjadi Dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai dan juga berprofesi sebagai redaktur majalah Lentera.
Ditangkap dan Dipenjara di Pulau Buru
Memasuki tahun 1960an, PKI semakin gencar memperluas pengaruhnya hingga kemudian terjadi gejolak politik dimana Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan yang terkenal dengan nama G30S/PKI dan terjadi pergantian kekuasaan dari Ir. Soekarno ke Soeharto. Dibawah pemerintahan Soeharto, penumpasan PKI dilakukan. Hal ini kemudian membuat organisasi-organisasi yang berada di bawah PKI ketika seperti Lekra yang dipimpin oleh Pramoedya menjadi terancam.
Pemerintah kemudian menangkap Pramoedya Ananta Toer dengan tuduhan mendukung komunis. Ia akhirnya ditahan tanpa pengadilan dari tahun 1965 hingga 1969, setelah itu ia dititipkan di penjara Nusakambangan di Jawa Tengah dan kemudian ia di buang di pulau Buru yang terkenal sebagai pulau buangan para tahanan politik PKI ketika itu dari tahun 1969 hingga 1979. Di pulau tersebut juga Pramoedya dilarang menulis oleh pemerintah namun ia tetap menulis karya-karyanya seperti novel semi fiksi yang berjudul Bumi Manusia.
Bebas dari Penjara
Memasuki tahun 1979 pada bulan desember, Pramoedya Ananta Toer akhirnya dibebaskan karena ia tidak tebukti terlibat dalam gerakan G30S/PKI namun ia tetap menjadi tahanan rumah oleh pemerintahan Soeharto hingga tahun 1992 dan kemudian naik menjadi tahanan kota hingga tahanan negara hingga tahun 1999. Hampir separuh hidupnya ia habiskan didalam penjara akibat hubungannya dengan partai PKI namun pada masa itu juga ia aktif dalam menulis namun banyak karya-karya atau tulisannya yang dilarang terbit oleh pemerintah orde baru hingga tahun 1995.
Ketika pergantian pemerintahan orde baru ke orde reformasi, Pramoedya Ananta Toer banyak menuliskan pikiran-pikirannya baik itu di kolom-kolom majalah mengkritik pemerintahan yang baru. Sebagai penulis dan sastrawan dengan puluhan karya-karya yang terkenal membuat Pramoedya Ananta Toer banyak menerima penghagaan nasional dan internasional seperti Ramon Magsaysay Award, Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI, Norwegian Authors’ Union Award serta penghargaan dari Universitas Michigan Amerika.
Wafatnya Pramoedya Ananta Toer
Meskipun sudah masuk masa tua, Pramoedya Ananta Toer tetap aktif menulis walaupun ia gemar merokok. Hingga kemudian ia terbaring di rumah sakit pada awal 2006 akibat penyakit diabetes, sesak nafas dan jantungnya yag melemah. Hingga kemudian ia keluar lagi. Namun kembali masuk rumah sakit ketika kondisinya makin memburuk akibat panyakit radang paru-paru.
…Berbahagialah mereka yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalaman nya sendiri.“ – Pramoedya Ananta Toer.
Hingga pada tanggal 30 april 2006, Pramoedya Ananta Toer akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggal di usia 81 tahun. Pemakamannya banyak dihadiri oleh masyarakat dan juga para tokoh terkenal seperti wakil presiden ketika itu Jusuf Kalla. Pramoedya Ananta Toer kemudian dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.
Beliau diketahui memiliki seorang istri bernama Maemunah Thamrin yang kemudian memberinya lima orang anak dan kemudian Pramoedya juga memiliki sembilan orang cucu. Istrinya meninggal pada bulan januari tahun 2011 dan dimakamkan di tempat yang sama dengan Pramoedya Ananta Toer yaitu di TPU Karet Bivak.
Penghargaan
- Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
- Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
- Wertheim Award, “for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people”, dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
- Ramon Magsaysay Award, “for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people”, dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
- UNESCO Madanjeet Singh Prize, “in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence” dari UNESCO, Perancis, 1996
- Doctor of Humane Letters, “in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom” dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
- Chancellor’s distinguished Honor Award, “for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding”, dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
- Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
- New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
- Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
- The Norwegian Authors Union, 2004
- Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004
Lain-lain
- Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
- Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
- Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
- Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
- Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
- International PEN English Center Award, Inggris, 1992
- International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999.